Adapun
yang dimaksud kitab kuning ini adalah buku-buku klasik yang berisikan
penjabaran-penjabaran Ulama tentang ajaran Agama Islam dengan pola pikir dan
format pra modern. Tetapi dalam tulisan ini yang dimaksud dengan kitab kuning
adalah tidak seluas itu. Akan tetapi adalah kitab kuning yang sering dipakai
oleh kalangan Kiai dan Ulama pesantren tradisional, dengan basis pesantren,
dalam pentablighan Agamanya kepada umat[1].
Dalam maksud lembaran adalah dalam
dimensi garis besar antara perbedaan wanita dan laki-laki, yang dalam pandangan
penulis cukup terjadi perbedaan kuat antara keduanya dalam pemahaman kitab
kuning, atau dalam bahasa lain laki-laki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari
pada wanita. Walaupun sebenarnya jika di pandang secara mutlak ada sisi lain
dalam kitab kuning yang memandang wanita lebih tinggi dari pada laki-laki,
berikut uraian lebih rinci dari pandangan-pandangan tersebut.
MELEBUR DALAM LELAKI
Dalam kitab kuning, ternyata sangat
sekali eksplisit perbedaan antara wanita (muannas) dan lelaki (muzakkar).
Salah satunya antara lain adalah, jika para lelaki pada dasarnya cukup menutup
bagian tubuhnya (aurat) antara pusar dan lutut. Maka perempuan
sebaliknya menutup seluruh badannya. Atau ketika lelaki sholat pada waktu
sholat jahr, maka menyuarakan dengan jahr, berbeda jika hal itu wanita
mereka akan tetap dengan suara rendah[2].
Yang paling unik juga masalah bahasa,
dalam kitab kuning begitu membedakan antara lelaki dan wanita, dalam katagori isim,
fi’il dan kata sifat. Tapi yang paling unik adalah klaim adanya dasar
kesukuan kata itu ternyata lebik kepada unsure muzakkar dari pada unsure
muannas, jadi untuk mengatakan muannas
itu perlu pembuktian bahwa sebuah ism atau fi’il itu muannas.
Contoh adalah unsure kata “an-Nass”
dalam dimensi arti ini mengandung arti laki-laki dan wanita, akan tetapi dalam
dimensi kitab kuning ini hukum lafadhnya adalah mudzakar, walaupun dalam
artinya mempunyai unsur perempuan.
Superioritas itu memuncak apabila kita
lihat dalam penulisan lafadh Allah, ar-Rahman, ar-Rahim, al-Qohhar, dan
sebagainya, atau lafadh malaikat secara eksistansi lafadnya itu selalu
menunjukkan muzakar. Serta nama Nabi-Nabi Allah itu juga menunjukkan lelaki,
kecuali kalau Umat Islam berani mengatakan maryam, Mashitah, Khadijah,
Rabi’ah al-Adawiyyah hendak diyakini sebagai seorang Nabi.
½
HARGA LELAKI
Sedangkan dalam kehidupan social ternyata
hal ini terlihat perbedaan yang jelas antara wanita dengan perempuan, bisa
dilihat dalam ketentuan fiqih kenyatan bahwa harga aqiqah bagi laki-laki itu minimal
2 ekor, sedangkan perempuan satu ekor[3].
Dalam diyat misalnya kalau laki-laki itu diyatnya seratus ekor unta maka
untuk wanita adalah 50 ekor unta. Atau dalam hal menikah laki-laki boleh 4
istri sedangkan perempua harus Cuma 1 suami.
MAKHLUK DALAM NEGERI
Karena harganya yang separo, maka jangan
disalahkan kalau selanjutnya dalam kitab kuning serba lelaki sebagai pemimpin,
perempuan tidak boleh jadi Imam sholat. Atau mejadi pemimpin[4].
Hal inilah yang menunjukkan bahwa
sebenarnya wanita kelak akan hanya sebagai wanita dalam negeri tetapi tidak
dapat berkiprah secara internasional. Dalam istilah kita di luar rumah, fiqh
berupaya ketat membatasi perempuan untuk keluar rumah, betapa perbedaan sangat
besar itu Nampak sekali, kitab kuning pun mendukung statemen ini, yaitu
statemen bahwa wanita adalah seorang makhluk dalam negeri dengan memandang rendahnya wanita yang berkeliaran
di luar rumah (bekerja), bahkan hal tersebut sampai merembet kepada
konsep sholat di luar rumah, yaitu sholat di masjid, ada sebuah hadis terkenal
yaitu “suasana di mana seorang wanita bisa mencapai kedekatan paling tinggi
deng tuhan ketika ia tafakkur di kamarnya”.
LEBIH
TINGGI DARI LAKI-LAKI
Pandangan ini berlaku ketika seorang
laki-laki sebagai seorang anak dari seorang wanita, dalam sebuah hadis Nabi di
jelaskan “(perkenaan Allah tergantung pada perkenaan dari kedua orang tua, dan
murka Allah juga terdapan dalam murkanya kedua orang tua”. Sedangkan yang di
maksud oleh kedua orang tua sebagai pihak yang paling dihormati adalah orang
tua yang wanita (Ibu), baru kemudian orang tua laki-laki.
Penguat pandangan ini antara lain adalah
banyak sekali ungkapan para mubaligh yang menyebutkan bahwa dalam beberapa
kesempatan sebuah hadis yang menegaskan “surga itu di bawah telapak kaki ibu”
sebuah hadis yang secara tersurat itu menunjukkan bahwa posisi wanita sangat
tinggi di atas laki-laki dalam kontek ibu dan anak.
= DENGAN LAKI-LAKI
Dalam kitab kuning keadaaan sejajar
antara laki-laki dengan wanita juga dapat kita jumpai, misalnya dalam ungkapan
kedua makhluk itu dari kacamata spritualisan ketuhanan. Pendapat ini akan
sangat mengemuka ketika kita menafsiri ayat al-Qur’an atau melihat tafsir
al-Quran ayat yang artinya, “sungguh bahwa diantara kalian yang paling mulia
di sisi Allah adalah yang paling takwa”.
Dimensi arti di dalam penjelasan ayat tersebut adalah tidak ada
penekanan kalau laki-laki itu lebih taqwa, akan tetapi standarnya adalah
ketakwaan. Baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama. Terlihat
kesejajaran dalam konteks ini.
Akan tetapi hal ini hanya secara teori
dalam kitab tafsir dan fiqh. Dalam praktek lapangan dominasi laki-laki selalu
lebih tinggi dari pada wanita. Tapi apakah dalam konteks modern ini apakah hal itu tidak dapat di rubah ? dunia
sudah maju, apakah wanita akan tetap sebagai makhluk dalam negeri ? ataukan
ingin menjadi Srikandi yang menjadi pemegang otoritas terbaik di negeri ini.
Misalnya seprti Sri Mulyani menjadi Menteri keuangan pada tahu 2010 kemaren.
Atau Sri-Sri yang lain.
Sebagai penutup tulisan ini, penulis
berusaha menganalisa sebenarnya kitab kuning menempatkan perempuan itu tidak
hanya di “bawah” tapi kitab kuning juga menghormati wanita walau sebatas teori.
dan dengan membaca tulisan ini semoga para wanita di negeri ini sadar akan kedudukannya
yang sebenarnya di sisi lain tinggi dari pada laki-laki dan harus berkarya
lebih baik dari laki-laki. Jangan hanya yang menjadi penulis kalangan lelaki
apalagi penulis kitab, dan buku, wanita mempunyai kesempatan dan waktu yang
sama.
[1] Pendahuluan ini penulis kutip dari tulisa KH Masdar
farid F Mashudi, tentang perempuan.
[2] Syarbini, Muhammad. Al-Iqna fil Hall alfaz
Abi Suja’, Ihya al-kutub al-Arabiyyah jilid 1. Halaman 126.
[3] Al-anshori, zakariya, fathul wahab, bandung
Maarif, jilid II, halan 190.
[4] Hal ini terlihat pada fenomena beberapa tahun lalu
ketika megawati maju menjadi presiden dengn mengandeng hazim muzadi, atau
pilgub yang terjadi di Jawa Timur antara kubu Syaifulloah yusuf dan khovivah
indar parwangsa ternyata di menangkan oleh soerkarwo dan syaifulloh yusuf.
Salah satunya kampanyenya menyebutkan bahwa pemimpin itu harus laki2.
0 komentar:
Posting Komentar